Hilman Fajrian: Belajar Dari First Travel dan Definisi Kesuksesan Kita
Sesungguhnya apa yang dilakukan Andika Hasibuan adalah sesuatu yang mulia. Melalui First Travel, ia membantu begitu banyak orang bertamu ke rumah Allah dengan biaya yang sangat terjangkau. Ia memecahkan masalah kelompok muslim yang bermimpi bisa umroh tapi tak punya banyak uang. Kelompok ini luar biasa besarnya.
Sampai pada titik ini, FT adalah sebuah perusahaan dengan noble purpose atau tujuan yang mulia dan mampu memberi dampak pada begitu banyak orang. Terlebih, pemecahan masalah itu adalah soal kebutuhan spiritual manusia yang bagi mayoritas kita adalah kebutuhan tertinggi dalam hidup.
Itulah sociopreneurship; kewirausahaan yang lahir dari niat dan tujuan untuk memecahkan masalah orang banyak dan memberi dampak besar.
Sociopreneurship terdiri atas 2 suku kata: social dan entrepreneurship. Sebagai kewirausahaan tentu saja sebuah usaha harus mendapatkan uang agar bisa terus bertahan dan berkembang demi melayani orang lebih baik lagi.
Bila saja FT dijalankan dengan cara yang baik, maka sampai hari ini kita bisa mengenal Andika sebagai role model sociopreneurship di Indonesia.
Namun apa yang sekarang terkuak pada FT membuat kita mempertanyakan apa niat dan tujuan awal Andika mendirikan FT: untuk membantu orang lain atau untuk menciptakan kekayaan?
Dua hal ini sangat penting dipertanyakan, termasuk kepada diri kita sendiri yang sedang memulai atau memiliki usaha. Purpose adalah jiwa sekaligus hati sebuah usaha dan hidup seorang manusia dijalani. Ia akan membimbing kita dalam memilih jalur atau cara yang mesti ditempuh, dan itu adalah sebuah perjalanan yang panjang.
Mari kita bertanya, mana yang datang lebih dulu: membantu orang lain, atau menciptakan kekayaan?
Dua hal ini merupakan purpose yang amat kontras dan digerakkan oleh motif yang berbeda. Yang satu customer driven, satu lagi self driven. Membantu orang lain selalu berorientasi pada orang lain tersebut. Sementara menciptakan kekayaan hanya berorientasi pada diri kita sendiri. Membantu orang lain tentu saja bisa bisa menjadi cara untuk memenuhi kesejahteraan hidup. Mark Zuckerberg, Sergey Brin, Nadiem Makarim, adalah contoh para sociopreneur dengan jumlah kekayaan yang luar biasa. Namun kekayaan pribadi dan perusahaan Facebook, Google, Gojek, tak pernah jadi purpose dan tujuan perusahaan-perusahaan ini. Tapi mereka tetap perlu mendapatkan uang yang lebih banyak lagi agar bisa membantu orang lebih baik dan lebih banyak lagi.
Dari sini kita tahu bahwa purpose menciptakan sebuah perbedaan yang teramat besar akan bagaimana sebuah perusahaan dijalankan dan cara seseorang menjalani hidupnya.
Ketika purpose kita adalah memenuhi kebutuhan lewat apa yang bisa dipertukarkan dengan uang sementara kebutuhan manusia itu tak terbatas, maka orientasi kita menjadi jelas: kekayaan. Kekayaan ini bersifat sangat individualistis dan self-oriented. Ketika kekayaan menjadi tujuan akhir, maka sangat mungkin ia ditempuh dengan cara-cara yang tak patut. Korupsi, penggelapan, perampokan, penipuan dsb.
Begitu banyak keuntungan yang bisa didapatkan dengan menjadi kaya. Bisa merasakan duduk di mobil mewah, jalan-jalan ke luar negeri, makan enak, tidur di hotel bintang 5, menyekolahkan anak ke sekolah terbaik dll. Semua itu tidak salah. Namun bagi banyak orang memiliki, merasakan, mengalami, membeli --- sebagai manfaat yang bisa didapatkan atas kekayaan --- tidaklah cukup. Dalam hiearki kebutuhan Maslow, ada kebutuhan atas pengakuan. Sehingga, kaya saja tidak cukup. Tapi orang lain mesti tahu dan mengakui bahwa kita kaya.
Kenapa pengakuan dari orang lain ini begitu penting?
Karena di masyarakat kita kekayaan adalah indikator utama atas kesuksesan atau keberhasilan hidup. Kita dianggap belum sukses bila belum memiliki segala sesuatu yang diklaim sebagai simbol-simbol kesuksesan: mobil mewah, tas mahal, rumah besar. Itu sebabnya kita silau melihat seorang pejabat memiliki mobil seharga miliaran dan menganggap mereka orang sukses, tanpa memikirkan bagaimana ia bisa membeli mobil mewah yang jauh dari pendapatannya sebagai seorang PNS. Bila kekayaan dan kepemilikan menjadi purpose, maka seringkali caranya tidak penting lagi. Selama orang lain tidak tahu bahwa kita mewujudkan kekayaan itu dengan cara yang salah, maka kita masih menjadi orang sukses.
Hari-hari belakangan kita melihat begitu banyak foto-foto Andika dan istrinya yang berasal dari media sosial mereka yang menunjukkan cara mereka menggunakan kekayaan yang berhasil mereka kumpulkan. Kepada orang banyak mereka menunjukkan betapa suksesnya mereka.
Kenapa mereka mendemonstrasikannya?
Karena masyarakat kita percaya bahwa itulah bukti hidup yang sukses: rumah bak istana, liburan mewah ke luar negeri, pakaian dan tas mahal, dsb. Bila saja hari ini belum terungkap masalah di balik FT, kemungkinan besar kita masih akan memandang Andika sebagai orang sukses karena segala sesuatu yang dimilikinya itu.
For the love of money is a root of all kinds of evil. Selama kita dan masyarakat kita tak mengubah paradigma dalam menilai kesuksesan, selama itu pula kita masih akan melihat keserakahan berserakan di dunia yang kita dan kelak anak-cucu kita tinggali ini.[*Hilman Fajrian]
Via : http://www.foldersoal.com
Sampai pada titik ini, FT adalah sebuah perusahaan dengan noble purpose atau tujuan yang mulia dan mampu memberi dampak pada begitu banyak orang. Terlebih, pemecahan masalah itu adalah soal kebutuhan spiritual manusia yang bagi mayoritas kita adalah kebutuhan tertinggi dalam hidup.
Itulah sociopreneurship; kewirausahaan yang lahir dari niat dan tujuan untuk memecahkan masalah orang banyak dan memberi dampak besar.
Sociopreneurship terdiri atas 2 suku kata: social dan entrepreneurship. Sebagai kewirausahaan tentu saja sebuah usaha harus mendapatkan uang agar bisa terus bertahan dan berkembang demi melayani orang lebih baik lagi.
Bila saja FT dijalankan dengan cara yang baik, maka sampai hari ini kita bisa mengenal Andika sebagai role model sociopreneurship di Indonesia.
Namun apa yang sekarang terkuak pada FT membuat kita mempertanyakan apa niat dan tujuan awal Andika mendirikan FT: untuk membantu orang lain atau untuk menciptakan kekayaan?
Dua hal ini sangat penting dipertanyakan, termasuk kepada diri kita sendiri yang sedang memulai atau memiliki usaha. Purpose adalah jiwa sekaligus hati sebuah usaha dan hidup seorang manusia dijalani. Ia akan membimbing kita dalam memilih jalur atau cara yang mesti ditempuh, dan itu adalah sebuah perjalanan yang panjang.
Mari kita bertanya, mana yang datang lebih dulu: membantu orang lain, atau menciptakan kekayaan?
Dua hal ini merupakan purpose yang amat kontras dan digerakkan oleh motif yang berbeda. Yang satu customer driven, satu lagi self driven. Membantu orang lain selalu berorientasi pada orang lain tersebut. Sementara menciptakan kekayaan hanya berorientasi pada diri kita sendiri. Membantu orang lain tentu saja bisa bisa menjadi cara untuk memenuhi kesejahteraan hidup. Mark Zuckerberg, Sergey Brin, Nadiem Makarim, adalah contoh para sociopreneur dengan jumlah kekayaan yang luar biasa. Namun kekayaan pribadi dan perusahaan Facebook, Google, Gojek, tak pernah jadi purpose dan tujuan perusahaan-perusahaan ini. Tapi mereka tetap perlu mendapatkan uang yang lebih banyak lagi agar bisa membantu orang lebih baik dan lebih banyak lagi.
Dari sini kita tahu bahwa purpose menciptakan sebuah perbedaan yang teramat besar akan bagaimana sebuah perusahaan dijalankan dan cara seseorang menjalani hidupnya.
DEFINISI KESUKSESAN
Menghasilkan uang untuk bisa tetap melanjutkan hidup [make money for living] dalam kacamata kewirausahaan adalah purpose yang berada di tangga paling dasar. Motif ini sama sekali tidak salah. Sebagaimana seorang pedagang bakso kaki lima menjalankan kewirausahaan agar bisa menafkahi keluarga. Selama uang masih bisa dipertukarkan dengan barang dan jasa, selama itu juga uang penting. Bila membaca kisah hidup Andika dan keluarganya, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa make money for living adalah purpose mereka dalam memulai FT. Dan ini sama sekali tidak salah. Miliaran orang di dunia juga melakukannya.Ketika purpose kita adalah memenuhi kebutuhan lewat apa yang bisa dipertukarkan dengan uang sementara kebutuhan manusia itu tak terbatas, maka orientasi kita menjadi jelas: kekayaan. Kekayaan ini bersifat sangat individualistis dan self-oriented. Ketika kekayaan menjadi tujuan akhir, maka sangat mungkin ia ditempuh dengan cara-cara yang tak patut. Korupsi, penggelapan, perampokan, penipuan dsb.
Begitu banyak keuntungan yang bisa didapatkan dengan menjadi kaya. Bisa merasakan duduk di mobil mewah, jalan-jalan ke luar negeri, makan enak, tidur di hotel bintang 5, menyekolahkan anak ke sekolah terbaik dll. Semua itu tidak salah. Namun bagi banyak orang memiliki, merasakan, mengalami, membeli --- sebagai manfaat yang bisa didapatkan atas kekayaan --- tidaklah cukup. Dalam hiearki kebutuhan Maslow, ada kebutuhan atas pengakuan. Sehingga, kaya saja tidak cukup. Tapi orang lain mesti tahu dan mengakui bahwa kita kaya.
Kenapa pengakuan dari orang lain ini begitu penting?
Karena di masyarakat kita kekayaan adalah indikator utama atas kesuksesan atau keberhasilan hidup. Kita dianggap belum sukses bila belum memiliki segala sesuatu yang diklaim sebagai simbol-simbol kesuksesan: mobil mewah, tas mahal, rumah besar. Itu sebabnya kita silau melihat seorang pejabat memiliki mobil seharga miliaran dan menganggap mereka orang sukses, tanpa memikirkan bagaimana ia bisa membeli mobil mewah yang jauh dari pendapatannya sebagai seorang PNS. Bila kekayaan dan kepemilikan menjadi purpose, maka seringkali caranya tidak penting lagi. Selama orang lain tidak tahu bahwa kita mewujudkan kekayaan itu dengan cara yang salah, maka kita masih menjadi orang sukses.
Hari-hari belakangan kita melihat begitu banyak foto-foto Andika dan istrinya yang berasal dari media sosial mereka yang menunjukkan cara mereka menggunakan kekayaan yang berhasil mereka kumpulkan. Kepada orang banyak mereka menunjukkan betapa suksesnya mereka.
Kenapa mereka mendemonstrasikannya?
Karena masyarakat kita percaya bahwa itulah bukti hidup yang sukses: rumah bak istana, liburan mewah ke luar negeri, pakaian dan tas mahal, dsb. Bila saja hari ini belum terungkap masalah di balik FT, kemungkinan besar kita masih akan memandang Andika sebagai orang sukses karena segala sesuatu yang dimilikinya itu.
For the love of money is a root of all kinds of evil. Selama kita dan masyarakat kita tak mengubah paradigma dalam menilai kesuksesan, selama itu pula kita masih akan melihat keserakahan berserakan di dunia yang kita dan kelak anak-cucu kita tinggali ini.[*Hilman Fajrian]
Via : http://www.foldersoal.com
Belum ada Komentar untuk "Hilman Fajrian: Belajar Dari First Travel dan Definisi Kesuksesan Kita"
Posting Komentar